Selasa, 29 Mei 2012

resume 14

Resume XIV
“Sejarah agama Konghucu di Indonesia”
Iman Abdurachman     1110032100010
Sapinah         1110032100021

1. Sejarah agama Konghucu di Indonesia
Peraturan yang lebih tinggi yakni Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1969 mengakui ada enam agama di Indonesia; Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. UU ini mengatur sama persis dengan Penetapan Presiden Nomor 1.Pn.Ps. Tahun 1965 yang mengakui enam agama. Kedua peraturan ini semakin dikuatkan dengan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyaratkan perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu.
Tapi, tiba-tiba saja muncul Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri Nomor 477/74054/BA.01.2/4683/95, tanggal 18 November 1978, yang menyatakan hanya ada lima agama di Indonesia; Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Buddha. Padahal, saat SE ini diterbitkan, UU Nomor 5 Tahun 1969 dan Penetapan Presiden Nomor 1.Pn.Ps. Tahun1965 belum dicabut.
"Perjalanan kelam tentang keberadaan Konghucu di Indonesia belum banyak diketahui generasi sekarang. Tapi waktu juga yang akhirnya berbicara untuk meluruskan lagi kenyataan yang ada," terang Ketua Presidium Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin), Candra Setiawan.
Ironisnya lagi, 12 tahun kemudian pemerintah melalui Mendagri kembali menerbitkan surat serupa bernomor 77/2535/POUD, tanggal 25 Juli 1990. Pada 28 November 1995, keluar juga Surat Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Jawa Timur No. 683/95 yang menyatakan bahwa hanya lima agama yang diakui di Indonesia: Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Buddha.
Kisah kelam selama lebih dari tiga dasawarsa ini baru berakhir di masa pemerintahan Abdurrachman Wahid. Di era kekuasaannya yang singkat, Presiden Gus Dur membuat terobosan dengan mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang segala aktivitas berbau Tionghoa dan SE Menteri Dalam Negeri Nomor 477/74054/BA.01.2/4683/95. Tindakan ini memberi pesan bahwa, "Tak ada lagi istilah agama yang diakui dan tak diakui pemerintah. Juga tak ada lagi pengakuan negara terhadap agama. Umat Konghucu dan orang-orang Tionghoa non-Khonghucu bisa bebas berekspresi. Termasuk Matakin yang langsung berbenah diri memulihkan eksistensinya untuk berdiri sejajar dengan agama lainnya di Indonesia," terang Uung.
Pada Oktober 2007, kebebasan beragama umat Konghucu ini semakin jelas dan tegas dengan keluarnya Peraturan Pemerintah RI Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Perihal pendidikan agama Konghucu di jalur sekolah formal, nonformal, dan informal diatur pada Pasal 45. Sementara untuk jalur tenaga pendidiknya diatur oleh Pasal 47 PP tersebut.
2.Timbulnya Pro Kontra Agama Konghucu
Pihak yang pro agar Konghucu diakui sebagai agama, menuduh bahwa para penentangnya mempunyai motif tertentu, seputar pengikut (umat) dan materi semata-mata. Semakin banyak pengikut, maka akan semakin banyak pula dana yang dapat dihimpun. Mereka melihatnya dari kenyataan di lapangan, di mana banyak tokoh- tokoh agama tertentu yang agresif dalam "menyelamatkan" umat manusia; khususnya orang Tionghoa, dari "kuasa kegelapan". Untuk mudahnya sebut saja agama XY, agama X dari sekte Y.
Kalau Konghucu diakui sebagai agama resmi di Indonesia, berarti kedudukan agama Konghucu dengan agama XY sederajat. Dengan demikian, tokoh-tokoh agama XY tidak bisa lagi "menyelamatkan" orang Tionghoa
dari "kuasa kegelapan", yang berarti kehilangan calon pengikut yang potensial. Kalau ini tetap dilakukan, berarti tokoh agama XY telah melanggar etika kerukunan beragama, dan telah melakukan intervensi ke agama lain.Mereka juga mencurigai motif materi dalam kasus ini, mengingat banyak orang Tionghoa yang potensial sebagai "resources fund", sehingga, jika suatu kelompok bisa merangkul orang Tionghoa berarti suatu advanted bagi kelompok tersebut. Oleh karena itu, tidak heran kalau banyak pihak yang menentang Konghucu diakui sebagai agama resmi di Indonesia.
Argumentasi lain yang berkembang adalah, di dalam kelima agama yang diakui di Indonesia, di dalam kelompok agamanya sendiri, secara internal mereka selalu menjelekkan agama lain. Selain itu, masing- masing agama juga terpecah-pecah dalam berbagai sekte di mana masing- masing mengklaim kelompoknya yang paling benar. Bahkan tidak jarang ada sekte yang menuduh sekte lain murtad. Oleh karena itu, dengan egoisme kelompok seperti ini, bagaimana mungkin mereka setuju Konghucu diakui sebagai agama resmi.
Pandangan Kelompok Netral.
Bagi mereka yang pernah mempelajari Ilmu Perbandingan Agama, akan mengerti bahwa filosofi dasar dari semua agama adalah sama, sehingga banyak pihak yang mengatakan bahwa semua agama pada dasarnya sama,
mengajarkan kebaikan. Yang berbeda hanya ritual dan tata laksananya saja.
Jaman dahulu, ajaran filsafat, baik yang disebut sebagai agama maupun yang tidak, berkembang dalam suatu lingkungan masyarakat tertentu dan mempengaruhi kehidupan masyarakat tersebut. Pengaruh ini selanjutnya akan membentuk berbagai kebiasaan masyarakat tersebut secara tutun temurun, yang kemudian kita kenal sebagai budaya.
Secara umum, karena ajaran filsafat pada dasarnya untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia, maka banyak ajaran filsafat dari berbagai sumber yang berbeda, mempunyai banyak persamaan, sehingga tidak jelas lagi apakah fenomena yang berkembang di suatu wilayah mengikuti ajaran filsafat A atau B, termasuk juga filsafat yang dikembangkan melalui ajaran agama yang berasal dari luar wilayah tersebut.
Akibat egoisme yang berkembang pada masing-masing kelompok, timbul berbagai kerancuan yang diklaim sebagai kebenaran oleh kelompok tersebu Misalnya, ucapan"assalamu'alaikum" dianggap tabu diucapkan oleh kalangan Kristen, karena dianggap sebagai budaya Islam. Padahal ucapan tersebut adalah kata dalam bahasa Arab yang artinya kurang lebih sama dengan salam dalam bahasa Indonesia. Padahal kalangan Kristen di wilayah Arab serring menggunakan kata "assalamu'alaikum" untuk menyapa orang lain.
Sebagian kalangan Kristen di Indonesia belakangan ini sering menggunakan kata "salom" untuk menunjukkan ke-Kristenannya, padahal artinya sama saja dengan salam dalam bahasa Ibrani. Kiong-hie, dengan mengepalkan kedua tangan di depan dada, di klaim oleh sementara pihak sebagai milik orang Tionghoa non-Krsiten, padahal maknanya adalah penghormatan atau selamat. Dan masih banyak lagi istilah atau sikap yang dikaitkan dengan agama tertentu secara salah kaprah.
Konsep Ketuhanan yang diklaim oleh ajaran monotheisme, sampai saat ini juga masih kontroversial dan mungkin tidak akan pernah terpecahkan. Pertanyaan yang nakal yang sering muncul adalah, apakah Tuhan dari agama yang satu sama dengan Tuhan dari agama yang lain? Apakah Penguasa Langit atau Dewa Tertinggi dalam ajaran polytheisme sama dengan Tuhan dalam ajaran monotheisme?
Antara filosofi dengan agama juga menimbulkan perdebatan yang tidak berakhir. Dilihat dari sejarahnya, terlepas dari konsep Ketuhanan dalam ajaran monotheisme, agama-agama monotheisme berkembang dari ajaran filsafat yang dikembangkan oleh tokohnya masing-masing, yang disebut Nabi. Ajaran filsafat ini kemudian dirangkum oleh para pengikutnya dalam sebuah buku yang disebut Kitab Suci.
Dalam ajaran Konghucu, filosofi ini ditulis sendiri oleh Konghucu dalam sebuah buku, dan para pengikutnya, pada awalnya tidak menyatakan Konghucu sebagai Nabi dalam pengertian ajaran monotheisme, dan ajarannya juga tidak secara explisit dianggap sebagai agama. Belakangan, sebagian penganut ajaran Konghucu menyatakan bahwa ajaran Konghucu adalah agama, dan selanjutnya Konghucu disebut sebagai Nabi.
3. Dasar Hukum Pengakuan agama Konghucu
Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang melekat pada manusia sejak lahir yang merupakan pemberian dari Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada seorangpun, bahkan negara boleh mencabut atau melanggar hak asasi manusia. Salah satu hak yang paling mendasar adalah hak seseorang untuk beragama. Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing sesuai dengan kepercayaannya. Hal tersebut bahkan dijamin dalam konstitusi Indonesia yaitu dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 28 E ayat (1) yang menjelaskan bahwa “Setiap orang bebas memeluk dan beribadat menurut agamanya”. Jelaslahh sudah hak untuk memeluk agama dan kebebasan untuk beribadah menjadi hak konstitusional bagi Warga Negara Indonesia.
Perkembangan etnis tionghoa yang sebelumnya amat dibatasi di Indonesia setelah masa reformasi ini menjadi bebas. Berbagai macam kebudayaan dan upacara adat china pun mulai berkembang di Indonesia. Barong Sai, Naga Liong, dan kebudayaan china lain yang sebelumnya dikembangkan dengan diam-diam sudah mulai dapat dipentaskan secara bebas. Bahkan perayaan Imlek pun mulai diperingati di Indonesia. Hal ini menunjukkan penerimaan Indonesia atas etnis tionghoa dan agamanya yaitu agama Khonghucu.
Pengakuan agama Khonghucu di Indonesia sebenarnya sudah diakui sejak jauh sebelum masa reformasi di mulai yaitu dengan adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 yang mengakui adanya enam agama di Indonesia yaitu: Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Pengaturan dalam Undang-Undang ini sama dengan Penetapan Presiden Nomor 1. Pn. Ps. Tahun 1965 yang mengakui enam agama.
Diskriminasi umat Konghuchu mulai dirasakan dengan diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Selain itu terbut Instruksi Presiden Nomor 1470/1978 yang berisi bahwa pemerintah hanya mengakui lima agama yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Artinya bahwa Khonghucu yang berdasarkan sensus 1976 dianut oleh sejuta orang bukanlah agama yang diakui oleh pemerintah. Kebijakan tersebut membuat hak-hak sipil penganut Khonghucu dibatasi. Perayaan keagamaan di gedung dan fasilitas publik dilarang. Hari raya Imlek tidak dimasukkan dalam hari besar di Indonesia, Dari segi pendidikan, sekolah di bawah yayasan Khonghucu tidak boleh mengajarkan pelajaran agama Khonghucu. Pernikahan di antara umat Khonghucu tidak dicatat oleh Kantor Catatan Sipil. Instruksi tersebut memang tidak secara eksplisit mencabut pengakuan atas agama Khonghucu di Indonesia. Namun akibat yang ditimbulkan antara lain beberapa pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap umat Konghuchu sebagaimana dituliskan di atas.
Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina mempunyai dampak yang sangat signifikan terhadap perkembangan kebebasan beragama maupun kebebasan untuk berekspresi. Perkembangan budaya juga berkembang pesat setelah keluarnya Keppres pencabutan Instruksi Presiden yang diskriminatif tersebut. Agama Konghuchu sekarang ini bebas untuk dianut oleh Warga Negara Indonesia. Banyak kebijakan pemerintah pasca reformasi yang mengakomodasi kepentingan umat Khonghucu dan etnis Tionghoa. Pada tahun 2001, Presiden K.H. Abdurrahman Wahid menjadikan tahun baru Imlek sebagai hari libur fakultatif bagi etnis tionghoa. Kebijakan tersebut dilanjutkan oleh pengganti Gus Dur Presiden Megawati dengan menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2002 tentang Tahun Baru Imlek pada 9 April 2002.
Di Indonesia, umat Khonghucu berada di bawah naungan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN). Selama masa orde baru, organisasi ini mengalami kondisi yang tidak jelas. Pemerintah tidak pernah membubarkan MATAKIN yang sudah berdiri sejak tahun 1954. Pada era reformasi MATAKIN diberi kesempatan oleh Menteri Agama kabinet reformasi untuk mengadakan Musyawarah Nasional XIII yang bertempat di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta pada tanggal 22-23 Agustus 1998 yang dihadiri perwakilan Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN), Kebaktian Agama Khonghucu Indonesia (KAKIN) dan Wadah Umat Agama Khonghucu lainnya dari berbagai penjuru tanah air Indonesia. Hampir 20 tahun umat Khonghucu di Indonesia harus hidup dalam tekanan dan pengekangan sebagai akibat tindakan represif dan diskriminatif terhadap umat Khonghucu. Hal ini membawa dampak negatif bagi perkembangan kelembagaan umat Khonghucu.
Masa orde baru adalah catatan sejarah terburuk bagi perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Pada masa itu terjadi diskriminasi bagi penganut agama Khonghucu di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya Instruksi Presiden Nomor 1470/1978 yang pada intinya mengungkapkan bahwa pemerintah hanya mengakui lima agama yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 yang mengakui adanya enam agama di Indonesia yaitu: Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Pengaturan dalam Undang-Undang ini sama dengan Penetapan Presiden Nomor 1. Pn. Ps. Tahun 1965 yang mengakui enam agama. Dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden tersebut, secara tidak langsung telah menyingkirkan agama Khonghucu yang pada sensus tahun 1976 penganutnya mencapai jumlah satu juta orang. Hal tersebut di atas telah membuat beberapa hak asasi dari penganut agama Khonghucu telah dilanggar. Kebebasan untuk memeluk agama, beribadah, hak-hak sipil, banyak dilanggar dengan adanya Instruksi Presiden Nomor 1470/1978. Instruksi Presiden ini seakan telah menyingkirkan umat Khonghucu.Hal ini masih diikuti beberapa pengaturan lain yang makin mediskriminasikan umat Khonghucu
Selama lebih dari 20 tahun umat Khonghucu terombang-ambing dengan ketidakpastian. Akhirnya, pada masa reformasi, Presiden K.H. Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Dengan adanya Keppres ini, umat Khonghucu dapat menjalankan segala sesuatu yang berkaitan dengan agamnya tanpa rasa takut lagi.
Pengakuan Khonghucu sebagai agama membawa dampak yang amat banyak dalam perkembangan Hak Asasi Mansia di Indonesia. Tidak hanya berhenti pada pengakuan agama saja namun juga diperbolehkannya budaya Cina untuk dipelajari dan dipertunjukkan di Indonesia. Berbagai pengakuan seperti pemberian hak-hak sipil dan erpolitik, serta ekonomi sosial dan budaya yang pada masa sebelumnya tidak pernah didapatkan oleh etnis Tionghoa, mulai didapatkan pada era reformasi ini.
Pengakuan agama Khonghucu di Indonesia saat ini baru berlangsung sekitar sepuluh tahun. Kemungkinan masih ada kebijakan-kebijakan pemerintah orde baru, yang dirasa merugikan dan tidak adil bagi kaum minoritas seperti kaum Khonghucu dan etnis Tionghoa. Peraturan yang demikian haruslah segera dicabut ataupun direvisi untuk memberikan hak-hak masyarakat pada umumnya, dan Warga Negara Indonesia pada khususnya.

resume 13

Resume XIII
 “Ajaran Perkawinan dan Kematian dalam kofusius”
Iman Abdurachman     1110032100010
Sapinah         1110032100021

            

 Upacara Chio Thau adalah upacara pernikahan tradisional Peranakan lengkap dengan segala pernak-pernik upacara yang menyertainya. Disebut Chio Thau ―artinya ‘mendandani rambut/kepala’ (to dress the hair), bukan ‘naik ke kepala’―karena, dalam bagian terpenting upacara ini, di atas sebuah tetampah besar warna merah terlukis yin-yang dan menghadap sebuah gantang (dou, tempat menakar beras), pengantin (laki-laki dan perempuan) disisiri oleh ibunya sebanyak tiga kali; setiap sisiran dibarengi dengan doa-doa tertentu: misalnya: sisiran pertama agar si pengantin diberi jodoh yang panjang, sisiran kedua: banyak rejekinya, sisiran ketiga: anak-anaknya semua menjadi orang yang membanggakan, dan sebagainya.
Pengertian menurut agama Konghucu adalah “salah satu tugas suci manusia yang memungkinkan manusia melangsungkan sejarahnya dan mengembangkan benih-benih firman Thian, Tuhan Yang Maha Esa, yang berwujud kebajikan, yang bersemayam di dalam dirinya serta, selanjutnya memungkinkan manusia membimbing putra dan putrinya”.

1. Hukum perkawinan
Ada beberapa hal yang perlu diketahui oleh kedua calom mempelai. Hal-hal tersebut adalah sebagai berikut :
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan membentuk keluarga bahagia dan melangsungkan keturunan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dasar perkawianan umat Konghuchu adalah monogamy demi tercapainya tujuan perkawinan yang suci murni.
Perkawinan harus berdasarkan kemauan/persetujuan kedua calon mempelai, tanpa adanya pakasaan dari pihak manapun.
Kedua calon mempelai masing-masing belum/tidak terikat dengan pihak lain yang dianggap sebagai hidup berumah tangga.
Pengakuan iman wajib bagi calon mempelai sehingga benar-benar dewasa bukan saja dari segi usia tetapi juga dalam berfikir, bertindak, bertingkah laku, dan lain sebagainya.
Pada waktu acara peneguhan perkawinan harus dihadiri oleh kedua belah pihak orang tua / wali mempelai demi kerukunan, kedamaian, kemajuan dan kebahagiaan kedua empelai sepanjang hidupnya, maka yang menyulut lilin pada altar persembahyangan adalah kedua belah pihak orang tua/ wali mempelai sebagai lambing merestui perkawinan kedua mempelai.
Bilamana salah satu atau kedua belah pihak tidak memenuhi syarat-syarat dalam hukum perkawinan, maka upacara peneguhan perkawinan bisa dibatalkan.
Perkawinan tidak bermaksud menceraikan seseorang dari bunda maupun keluarganya karena telah membangun mahligai baru, melaikan menyatukan keluarga yang satu dengan yang lain, memupuk rasa persaudaraan yang luas di antara manusia adalah bersaudara.
Karena tujuan perkawinan membentuk keluarga harmonis, damai, maju, dan bahagia lahir dan batin, maka hokum perkawinan ini pada dasarnyatidak mengenal perceraian.
2. Maksud dan Tujuan pernikahan
Adapun tujuan perkawinan menurut agama Konghucu yaitu
membentuk keluarga yang harmonis
Kedamaian
kebahagian
Maka hukum perkawinan dalam agama ini pada dasarnya tidak mengenal perceraian. Karena tidak mengenal perceraian, maka sangat wajar bila perkawinan umat Konghucu senantiasa mengalami kedamaian, kebahagiaan, dan keharmonisan.
3. Peran dan Fungsi Perkawinan
Salah satu pranata sosial yang sangat penting bagi masyarakat,karena melalui perkewenangan terbentuk keluarga sebagai salah satu unit sosial terpenting dalam masyarakat. Berfungsi mewujudkan adanya keluarga da memberikan keabsahan atau status kelahiran anak, dan juga mewujudkan adanya hubungan di antara kerabat-kerabat dari pasangan tersebut. Menurut agama konghucu, perkawinan juga tidak terlepas dari masalah peran dan fungsi. Fungsi ini mewujudkan pertanggung jawaban untuk manusia kepada kesadaran menjalankan norma-norma keutamaan dalam kitab suci agama Koghucu.
4. Adat dan Upacara Sebelum Perkawinan
Berbagai upacara dilakukan sebelum dilangsungkan perkawinan. Seperti upacara Lamaran, ikatan pertunangan dan upacara penentuan hari perkawinan. Misalanya lamaran dengan memerlukan walinya dan mencari wali untuk saat melamar perempuan yang ingin di lamar, di sambung dengan pertunangan jadi dengan dua belah pihak di temukan dan membicarakan tanggal dan sebagainnya untuk acara pernikahan tersebut. Adapun cara pertunangan di lingkungan keluarga umunya dilakukan dirumah pihak perempuan dan pihak laki-laki, jalan upacara pertunangan sebagai berikut :
1)      Jalannya upacara dipimpin oleh Kausing (Penebar Agama), Bunsu (Guru Agama) dan Haksu (Pendeta).
2)      Melakukan sembahyang kepada Thian (Tuhan Yang Maha Esa) dilakuakn di dpean pintu atau altar terbuka dengan cara menghadapa ke langit.
3)      Setelah itu melakukan sembahyang pada arwah leluhur.
Pada saat penentuan hari perkawinan dalam agam konghucu ini biasanya dari pihak laki-laki membawa berbagai macam antaran. Yaitu :[5]
 Dua batang merah lilin besar yang berarti penerangan lahir batin
Dua buah amplom merah (ang pao) yang didalamnya bisikan uang.
Pakian wanita, sepatu, sandal, alat-alat kosmetik serta perhiasan.
Buah-buahan , semuanya dimasukkan ke dalam peti merah.
Pakaian yang dikenakan saat Chio Thau―yakni baju putih-celana putih bagi laki-laki dan baju putih-kain batik warna dasar merah bermotif bulat-bulat putih, sehingga dikenal dengan nama Kain Onde―akan disimpan baik-baik dan dikenakan kembali pada waktu yang bersangkutan meninggal kelak sebagai pakaian mati.

Ajaran dalam Kematian Konghucu
Pengertian Upacara dan Ritual
Upacara merupakan pelaksanaan kegiatan yang di lakukan secara berkelompok atau sekumpulan manusia atau orang untuk melakukan kegiatan rutin dalam rangka untuk memringati hari-hari yang bersejarah yang dipimpin oleh pemimpin yang tertinggi dalam suatu organisasi atau departemen. Sedangkan Ritual merupakan tata cara keagamaan atau bisa di sebut dengan ucapan suci. Religi dan ucapan mherupakan unsur dalam kehidupan manusia di dunia.
Kematian
Kematian bukanlah suatu hal yang menyenangkan untuk di bicarakan maupun di persoalkan. Kematian adalah sesuatu yang seram dan menyedihkan, sesuatu yang benar-benar mematikan suasana, sesuatu yang hanya coock bagi buah pembicaraan di kuburan.
Roh leluhur
Menurt ahli sejarah kebudayaan E.B. Tylor , ia juga berpendirian bahwa bentuk agama yang tertua adalah penyembahan kepada roh-eoh yang merupakan personifikasi, (hubungan) dari jiwa-jiwa yang telah meninggal dunia, terutama nenek moyangnya
Makna dan Fungsi upacara secara umum
makna upacara merupakan suatu kegiatan ritual keagamaan yang dilaksanakan secara berkelompok dilakukan dilingkungan tersebut.
Fungsi upacara adalah suatu alat komunikasi atau hubungan langsung dengan roh leluhur menurut kepercayaan dan keyakinan yang harus ditaati.
Makna kematian dalam Agam Konghucu
Makna kematian dalam agama Konghucu merupakan rasa sakit hati seseorang anak kepada orang tuanya. Menurut mereka orang tua itu sangat berjasa karena ornag tua di waktu hidupnya sudah membesarkan anak-anaknya dari kecil hingga dewasa. Karena itu seorang anak diwajibkan untuk berbakti, hormat dan mendoakan orang tuanya diwaktu meninggal agar mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan didalam sana.
Menurut Ws. T. M Suharja makna kematian dalam Agama Konghucu adalah sebagai berikut :
Anak melakukan bakti kepada orang tua dalam tiga hal yaitu :
Harus merawat pada saat dia dalam kesusilaan
Memakamkannya ketika ia meninggal dunia
Menyembahyangkan walaupun jarak juah
Mendoakan orang yang telah meninggal dunia supaya rohnya mendapat ketenangan dan kedamaian di tempat yang abadi disisi Tuhan.
Pewaris nilai-nilai atau norma-norma melalui proses sosialisasi.

Cara merawat jenazah
Membersihkan
Mengganti pakaian jenazah
Tempat yang khusus untuk jenazah dan menggunakan kain yang berwarna dan corak bunga
Peti jenazah
Sembahyang
Peti ditaburi sesaju dengan mantra
Meletakkan tujuh buah mata uang logam
Memukul paku peti, searah dengan jarum jam.
3.  Proses upacara Kematian
Surat do’a Jib Hok : pengurusan jenazah
Surat do’a Mai Song : pemberangkatan jenazah
Surat do’a Sang Cong : tempat penguburan
Surat do’a Jib Gong : sembahyang dengan untuk memohon izin Tuhan.
Surat do’a Ngokok : manusia mencari nafkah

Dengan adanya kaitan dengan pengaruh Tiongkok. Pada saat pemberangkatan jenasah, semangka yang dipakai di meja sembahyang dibanting hingga hancur ketika peti akan diangkat ke mobil jenasah. Ada cerita tentang kaisar Li Shimin [Li SeBin] yang mengunjungi neraka. Buah semangka yang dihancurkan ini adalah untuk para penghuni neraka yang sangat kehausan. Hiolo dan potret almarhum dibawa oleh anak lelakinya dengan diikat di badannya menggunakan kain blacu, serta ikut di mobil jenasah, sepanjang perjalanan ke pemakaman/krematorium, [gincua] disebar di jalan. Jaman dahulu, peti jenasah digotong ke kuburan, dan anggota keluarga berlutut [paikui] di tiap jembatan yang dilalui.

resume 12

Resume XII
“Etika dalam agama Konghucu”
Iman Abdurachman     1110032100010
Sapinah         1110032100021


Etika dalam agama Konghucu
Untuk mengenal  ajaran etika Konghucu secara mendalam, maka kita harus mengenal apa yang disebut dengan San Kang (tiga hubungan tata karma), Ngo Lun (Lima norma kesopanan dalam masyarakat ), Pa Te (Delapan sifat mulia atau delapan kebijakan ), pentingnya nilai belajar bagai manusia dan etika terhadap makluk halus.
1.         San kang (tiga hubungan tata karma)
Pengertian dari San Kang atau tiga hubungan tata karma ini adalah :
a.      Hubungan raja dengan menteri atau atasan dengan bawahan
Ungkapan konghucu :
            “seorang raja memperlakukan mentrinya dengan Li  (kesopanan atau penuh dengan budi pekerti  yang baik). Seorang mentri mengabdi kepada raja dengan kesetiaannya.” (Lun Gi  III: 19)
            Perkataan Konghucu diatas menggambarkan bahwa seorang pemimpin haruslah bersifat arif dan bijaksana terhadap orang yang dipimpinnya, dan begitu juga seorang bawahan haruslah dapat menghormati atasannya sebagai mana layaknya seorang atasan.
b.      Hubngan orang tua dengan anak
Konghucu juga membicarakan tentang hubungan bapak dengan anak-anaknya, dan juga sebaliknya hubungan anak dengan orang tuanya.
Perkataan Konghucu :
            “ Raja berfungsi sebagai fungsi, menteri  berfungsi sebagai  menteri, ayah berfungsi sebagai ayah dan anak berfungsi sebagai anak.” (Lun Gi XII: II) Perkataan Konghucu di atas menggambarkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari , seseorang harus dapat menempatkan fungsi sosialnya dengan baik.
c.       Hubungan suami dengan istri
Bagi Konghucu hubungan suami  dengan istri haruslah juga didasarkan pada sifat-sifat baik dan terpuji. Seorang suami haruslah dapat menghormati  istrinya dan begitu juga sebaliknya.  Hal ini dapat dilihat dari kata-kata Mencius di bawah ini :
            “Menurut (mengikuti) sifat-sifat yang benar itulah jalan suci bagi seorang wanita”. (Mencius III, 2;2) istri yang baik itu adalah istri yang tunduk dan patuh terhadap printah suaminya, dan istri yang tidak baik adalah istri yang selalu melanggar  perintah suaminya.
Jika seorang istri dapat menuruti perintah suaminya, bukan berarti suami dapat berbuat sekehendak hatinya, namun suami hendaklah dapat berbuat yang terbaik untuk istrinya. Bagi khanghucu sebaiknya suami bersikap sebagai seorang kuncu (manusia budiman) yang dapat menciptakan keharmonisan dalam rumah tangga.
2.      Ngo Lun (lima norma kesopanan dalam masyarakat)
Ngo Lun itu juga disebut sebagai Wu Luen, yang artinya juga “lima norma kesopanan dalam masyarakat”. Baik Ngo Lun, maupun Wu Luen, mempunyai arti yang sama.
            Dalam San Kang dibicarakan tentang:
1. Hubungan raja dengan menteri atau hubungan atasan dengan bawahan.
2. Hubungan Ayah dengan anak,
3. hubungan suami dengan istri.
 Dalam Ngo Lun, ketiga hubungan tersebut ditambah dengan dua hubungan lagi yaitu:
a.      Hubungan saudara dengan saudara
perkataan Konghucu tentang hubungan saudara dengan saudara:
            “Seorang muda, di rumah hendaklah erlaku bakti, di luar (rumah) hendaklah bersikap rendah hati, hati-hati sehingga dapat dipercaya, menaruh cinta kepada masyarakat, dan berhubungan erat dengan orang yang berperi cinta kasih.” (Lun Gi, I:6)
b.      Hubungan teman dengan teman
Konghucu mengatakan :
            “Ada tiga macam sahabat yang membawa manfaat dan ada tiga seorang sahabat yang membawa celaka. Seorang sahabat yang lurus, yang jujur, dan yang berpengetahuan luas, akan membawa manfaat. Seorang  sahabat yang licik, yang lemah dalam hal-hal baik, dan hanya pandai memutar lidah akan membawa celaka. (Lun Gi, XIV : 4)
3.      Sifat-sifat mulia dalam ajaran  Konghucu
1)      Wu Chang (lima sifat yang mulia)
Lima sifat yang mulia (Wu Chang) terdiri dari:
a)      Pengertian  Ren/Jin/Jen: (cinta kasih)
Menurut Houston Smith, kata ren/jin/jen ini dapat di terjemaahkan banyak arti seperti kebaikan, dari manusia ke manusia, pemurah hati,cinta, dan juga diartikan sbagai berhati manusia. Dalam pandangan Konghucu dalam kehidupan jen merupakan inti sari dari kesempurnaan adi kodrati, yang diakuinya sendiri belum pernah dilihatnya terwujud sepenuhnya.
Gagasan Konghucu mengenai yi (peri keadilan kelurusan) jauh lebih berbeda dengan gagasannya terhadap jen (prikemanusiaan). Gagasan mengenai yi lebih bersifat aga formal. Sedangkan gagasan jen  jauh lebih bersifat kongkrit.
Ketika Hwan-Thi (murid Konghucu) bertanya tentang cinta kasih (perikemausiaan), Konghucu menjawab : “prikemanusiaan (cinta kasih) itu dapat trwujud dengan jalan mencintai orang lain.” (Lun Gi XII,22). Hwan-thi bertanya lagi tentang kebijaksanaan, dan Konghucu menjawab: “kebajikan itu adalah seseorang yang dapat mengenal orang lain”. (Lun Gi XX, 22:2)
b)     Pengertian I/Gi
Chau Ming, mengartikan  I atau Gi, sebagai rasa solidaritas, rasa senasib-sepenanggungan dan rasa membela kebenaran. Sedangkan Fung Yu Lan mengartikan i atau gi sebagai “keadilan” dan “kebenaran”. Hal ini dapat terlihat dalam Konghucu, “seorang Kuncu(manusia budiman) hanya mengerti akan kebenaran, sebaliknya seorang rendah budi hanya mengerti akan keuntungan.” (Lun Gi IV: 16).
c)      Pengertian Li/Lee
Pengertian Li menurut Konghucu adalah “sopan-santun” dan “tata krama” atau “budi pekerti”. Suatu hubungan yang dilakukan oleh manusia yang satu dengan yang lain harus dilakukan dengan Li. Li adalah suatu pedoman yang harus ditaati oleh manusia dalam berhubungan antara satu dengan yang lainnya.
Konghucu mengartikan Li ini sebagai “ritus” atau “upacara”.
d)     Pengertian Ce/Ti (bijaksana)
Konsep kebijaksanaan menurut Konghucu :
“bila kita melihat orang yang bijaksana, kita harus berusaha menyamainya. Bila kita melihat orang yangb tidak bijaksana kita harus memeriksa dan melihat dalam diri kita sendiri”. (Lun Gi IV:17)
Dari perkataan diatas Konghucu sangat menekankan pentingnya sikap Ti atau Ce, karna sikap itu dapat menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi seseorang.
e)      Pengertian Sin
Sin artinya “dapat dipercaya”. Seseorang tidak hanya percaya pada dirinya sendiri tapi juga harus dapat dipercaya oleh orang lain.  Menurut Konghucu, Sin mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia, tanpa Sin  seseorang tidak banyak mempunyai arti dalam masyarakat.

2)      Pengertian Pa Te (delapan sifat mulia)
a)      Siau/Hau
Siau/Hau dapat diartikan rasa bakti yang tulus terhadap orang tua, guru, dan leluhur. Seorang anak harus dapat berbakti kepada orang tuanya , baik orang tuanya masih hidup maupun sudah meninggal dunia.
b)     Thi/Tee
Thi/Tee dapat diartikan sebagai rasa hormat terhadap yang lebih tua diantasa saudara. Maksudnya dalam kehidupan rumah tangga seorang adik harus menghormati kakanya. Demikian juga dalam kehidupan sehari-hari, yang muda menghormati yang tua.
c)      Cung/Tiong
Cung atau Tiong,  dapat diartikan sebagai setia terhadap atasan, setia terhadap teman dan kerabat.
d)     Sin
Sin dapat diartikan kepercayaan, rasa untuk dapat dipercaya atau menepati janji, orang yang dapat menepati janji amat disegani oleh orang lain, namun orang yang tidak dapat menepati janji akan dibenci oleh orang lain.
e)      Lee/Li
Lee atau Lee dapat diartikan sebagai sopan santun, tatak rama dan budi pekerti.
f)       I/Gi
I/Gi dapat diartikan sebagai rasa solidaritas, rasa senasib dan sepenanggungan dan mau membela kebenaran serta menolak hal-hal yang dirasakan tidak baik dalam hidup.
g)      Lien/Liam
Lien/Liam dapat diartikan memperaktekan cara hidup yamg sederhana dan tidak melakukan penyelewengan.
h)     Che/Thi
Che/Thi diartikan dapat menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang amoral atau hal-hal yang dapat merusak moral.
3)      Chun Tzu atau kuncu menurut pandangan konghucu
Setelah seseorang dapat melaksanakan San Kang, Ngo Lun, Wu Chang, dan Pa Te. Maka ia akan sampai pada pengwrtian manusia yang ideal yang oleh Konghucu disebut Chun Tzu atau  kuncu (manusia budiman). Ini dapat di wujudkan melalui pengembangan watak dan moral yang baik berdasarkan ajaran Konghucu.


resume 11

Resume XI
“Ajaran Konghucu”
Iman Abdurachman     1110032100010
Sapinah                      1110032100021

 

Cina adalah sebuah Negara yang memiliki sejarah cukup panjang, yang konon dimulai sekitar tahun 2.700 S.M. Cina memiliki tiga agama besar yaitu Konfusianisme, Taoisme dan Buddhisme.
Beberapa sumber kuno seperti Sje-Tsing (buku puji-pujian, dan Shu Ching (Buku Sejarah). Memberi kesan bahwa bangsa Cina purba menganut faham Monoteis, yaitu percaya pada satu Tuhan, nama yang diberikan untuk tuhan mereka adalah Shang-ti (Penguasa Tertinggi), dan Tien (Sorga).
     B.   Ajaran Tentang Tuhan 
Agama kongfutzu, atau biasa dibunyikan dengan Kong Hu Cu, di kaitkan dengan nama pendiri agama ini yaitu Kung Fu Tze (551-479 SM). Ada yang menilai bahwa ajaran Kung Fu Tze bukanlah suatu agama melainkan hanyalah ajaran tentang nilai-nilai (Ethika) saja, karena Kung Fu Tzu sendiri menghindarkan diri untuk berbicara tentang alam gaib. Akan tetapi R.E Hume, Ph.D. dalam bukunya The World`s Living Religions Edisi 1950 menjelaskan bahwa sistem ajaran Kung Fu Tzu itu mengenal pengakuan terhadap kodrat maha Agung (Supreme Being), serta mempercayai pemujaan terhadap arwah Nenek Moyang (Ancetors-Worship), juga mengajarkan tata tertib Kebaktian. dengan landasan inilah seiring perkembangan zaman ajaran Kung Fu Tze termasuk kepada ajaran keagamaan.
Pemujaan terhadap langit.
      Berbeda dengan penafsiran pada masa belakangan, Kung Fu Tze sendiri menghindarkan diri untuk berbicara tentang alam gaib dan kodrat gaib. Didalam keseluruhan himpunan klasik, yang langsung ditulis oleh Kung Fu Tze, Cuma satu kali saja dijumpai sebutan Shang Ti (Yang Maha Kuasa) dan itupun didalam baris sajak, (Shih Ching, 20 : 1).
      Akan tetapi dibalik itu memang dia banyak mempergunakan sebutan Tien, yang artinya Langit (Heaven). “Guru berkata mengakui dan mentaati ketetapan-ketetapan langit akan mustahil menjadi manusia sempurna”. (20 : 1,2,3).
      Dengan sebutan langit (Tien, Heaven) itu dipahamkan suatu kodrat yang menguasai perwujudan alam dan kehidupan manusiawi.
      Kung Fu Tze, dengan begitu mengakui perwujudan alam gaib dan kodrat gaib yang bersidat menentukan kehidupan manusiawi. Tetapi dia sendiri tidak melakukan pembahasan tentang alam gaib maupun kodrat gaib itu.
Dalam agama Kong Hu Cu ada yang disebut pengakuan Iman, diantaranya ada delapan Pengakuan Iman (Ba Cheng Chen Gui) dalam agama Konghucu:
1. Sepenuh Iman kepada Tuhan Yang Maha Esa (Cheng Xin Huang Tian)
2. Sepenuh Iman menjunjung Kebajikan (Cheng Juen Jie De)
3. Sepenuh Iman Menegakkan Firman Gemilang (Cheng Li Ming Ming)
4. Sepenuh Iman Percaya adanya Nyawa dan Roh (Cheng Zhi Gui Shen)
5. Sepenuh Iman memupuk Cita Berbakti (Cheng Yang Xiao Shi)
6. Sepenuh Iman mengikuti Genta Rohani Nabi Kongzi (Cheng Shun Mu Duo)
7. Sepenuh Iman memuliakan Kitab Si Shu dan Wu Jing (Cheng Qin Jing Shu)
8. Sepenuh Iman menempuh Jalan Suci (Cheng Xing Da Dao)
C.   Ajaran Tentang Keimanan
Penyebaran ajaran-ajaran Kong Hu Cu dimulai tidak lama setelah dia meninggal dunia. Setelah berkabung karena kematiannya pendirinya yaitu Kong Fu Tze, para murid Kong Fu Tze menyebarkan dan masing-masing menempuh jalannya sendiri-sendiri dalam melanjutkan pekerjaan penyebaran agamanya. Akan tetapi akibat perbedaan-perbedaan yang semakin lama semakin bertambah besar karena masing-masing mengembangkan system pemikiran tersendiri, sesuai dengan kepentingan dan keyakinannya.
      Keimanan kaum Kong Hu Cu (Konfusius) tidak lepas dari kitab suci agama itu sendiri yang diyakini ditulis oleh Konfusius sendiri yaitu :
Shu Ching, Buku tentang sejarah. Aslinya mengandung 100 dokumen sejarah sejarah dinasti-dinasti kuno Cina dan mencakup suatu periode yang dimulai dari abad ke-24 S.M. sampai abad 8 S.M. Konfusius dikatakan telah menyusun dokumen-dokumen ini secara kronologis dan menulis kata pengantarnya. Dokumen ini tercampur dengan ajaran-ajaran agama dan moral.
Shing Ching, yaitu buku tentang puisi, yaitu kumpulan sajak-sajak yang popular yang ditulis lima ratus tahun pertama dari dinasti Chan.
Yi Ching, Buku tentangperubahan-perubahan. Buku ini mengemukakan system yang sangat fantastis menyangkut filsafat dan menjelaskan apa yang disebut dengan prinsip Yin (wanita) dan Yang (pria).
Li, Chi, buku tentang upacara-upacara. Konfusius menyetujui beberapa upacara tradisional untuk mendisiplinkan rakyat dan membawakehalusan budi, keagungan dan kesopanan kedalam tingkah laku sosial mereka.
Yeo, buku tentang music. Pada zaman konfusius music berhubungan erat dengan puisi, sehingga ketika ia menerbitkan sajak-sajak kuno ia juga menyusun pasangannya berupa music untuk setiap sajak yang telah diseleksinya.
Chu`un Ch`ii, tentang sejarah musim semi dan musim rontok, yaitu catatan kronologis tentang peristiwa-peristiwa di negri Lu mulai tahun pertama pemerintahan pangeran Yiu (722 S.M) hingga tahun keempat belas dari pemerintahan pangeran Ai (481 S.M).
D.   Ajaran Tentang Hidup Setelah Mati
Pemujaan arwah nenek moyang Pemujaan arwah nenek moyang telah merupakan tradisi bagi bangsa Tionghoa sejak masa sebelum Kung Fu Tze. Tradisi tersebut dikukuhkan oleh Kong Fu Tze karena dipandangnya suatu sumber azasi bai nilai-nilai lainnya.
“Layanan cinta kasih dan takzim kepada ibu-bapa sewaktu hidup. Dan berduka cita srta berkabung sewaktu mereka meninggal dunia: sekaliannya itu kewajiban asazi bagi yang hidup.” (SBE, 3 : 488).
Menurut kepercayaan, ibu-bapa yang telah meninggal tetap hidup berkelanjutan dan tetap mengawasi turunannya. Perembahan makanan pada waktu-waktu tertentu itu bukan bersifat korban tebusan, tetapi perlambang santap bersama yang dipandang sakral.
Karakteristik umum dalam agama orang Cina pada masa Konfusius adalah penyembahan leluhur. Penyembahan leluhur adalah pemujaan roh-roh orang mati oleh kerabatnya yang masih hidup. Mereka percaya bahwa kelanjutan kehidupan roh-roh leluhurnya tergantung dari perhatian yang diberikan oleh para kerabatnya yang masih hidup. Mereka juga menyakini bahwa para roh tersebut dapat mengendalikan peruntungan keluarga.
Jika keluarga menyediakan kebutuhan roh para leluhur, sebagai imbalannya, roh para leluhur itu akan membawa hal-hal baik yang terjadi dalam kehidupan keluarga. Namun, jika para leluhur diabaikan, diyakini bahwa semua hal yang buruk akan menimpa keluarga. Akibatnya, orang yang hidup terkadang hidup dalam ketakutan kepada mereka yang telah mati. Richard C. Bush menyatakan:
“Penyembahan leluhur oleh keluarga kerajaan dan rakyat jelata mengungkapkan beberapa alasan mengapa mereka melakukannya. Mereka ingin para leluhur dapat hidup di luar kubur, menjalani hidup sama seperti bagaimana mereka hidup di bumi; oleh karena itu, yang masih hidup mencoba untuk memberikan apapun yang sekiranya diperlukan. Alasan kedua adalah bahwa jika mereka tidak diberi makanan, senjata, dan perlengkapan yang diperlukan untuk bertahan hidup di luar sana, para leluhur dapat mendatangi mereka sebagai hantu dan membawa masalah bagi yang hidup. Hingga kini, orang Cina merayakan "Festival Hantu Lapar", menaruh makanan dan anggur di depan rumah untuk memuaskan roh leluhur atau hantu yang tidak diperhatikan keturunannya yang kemudian menghantui. Motif ketiga adalah untuk memberitahu para leluhur apa yang terjadi pada masa kini, dengan harapan para roh leluhur itu, entah bagaimana caranya, mengetahui bahwa semuanya baik-baik saja sehingga mereka dapat hidup dengan damai. Dan alasan terakhir, pemujaan roh leluhur menunjukkan harapan bahwa para leluhur akan memberkati keluarga yang masih hidup, dengan anak-anak, kemakmuran, keharmonisan, dan segala yang berharga. (Richard C. Bush, The Story of Religion in China, Niles, IL: Argus Communication, 1977, hal. 2)”